Local Wisdom Dieng

Tujuan saya memilih topik rambut gembel ini karena saya tertarik pada keunikannya dan anak yang berambut gembel secara alami ini hanya ada di dieng. Saya menggali informasi tentang budaya ruwat rambut gembel di dieng ini karena saya ingin tau lebih dalam bagaimana asal-usulnya, perilaku masyarakat, dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Alasan saya mengambil topik ini karena saya tergerak pada materi kuliah yang menyebutkan bahwa suatu keindahan itu bukan dimana yang semuanya tampak sempurna, namun yang jauh dari kesempurnaan justru memiliki suatu nilai keindahaan yang tekandung didalamnya apabila kita dapat memaknai itu semua. Informasi yang saya dapatkan ini dari sumber pemangku adat dieng yang bernama mbah sumar, masyarakat, dan Salsabila (anak rambut gembel).
Dan untuk sekarang ini di daerah dieng hanya ada satu anak yang berambut gembel, yang bernama salsabila umur 3 tahun yang tinggal didaerah ndoro kandang dieng. Di masyarakat dieng ini mengatakan bahwa anak yang  berambut gembel adalah “raja tanpa mahkota” yang masyarakat dieng begitu menyegani anak rambut gembel tersebut, beberapa alasan dari masyarakat ini antara lain karena anak rambut gembel ini adalah turunan atau pilihan dari kyai kolo dete, sosok ini adalah orang yang membangun desa dieng dan memeberikan kesejahteraan. Masyarakat dieng juga memiliki falsafah hidup yaitu “Similiah Semeleh” yang artinya : awali semua kegiatan itu dengan similah, agar semua yang kita lakukan ini di berikan ridho oleh Tuhan yang Maha Esa. Kata similah ini diambil dari kata bissmilah, dan semeleh yaitu apapun masalahmu yang membuat beban pikiran itu untuk kita semelehkan.

Teori Rasionalistik 
R.R. Marett (1866-1943) dan Sir James George (1854-1941) Mengungkapkan kosep survival bahwa kepercayaan dan praktik-praktik yang dilakukan dalam suatu kesusastraan merupakan survival  atau kelanjutan perjuangan eksistensi dari perilaku budaya masalah dalam bentuk perilaku budaya (Cultural habbits) yang sudah kehilangan makna dan tujuan.
Teori Kontekstual
Brofenbrenner menggambarkan kondisi lingkungan dimana perkembangan terjadi oleh pendekatan makrosistem.
Makrosistem.
Meliputi cetak biru pembentukan social dan kebudayaan untuk menjelaskan dan mengorganisir institusi kehidupan. Makrosistem direfleksikan dalam pola mikrosistem, mesositem, dan ekosistem yang dicirikan dari sebuah subkultur, kultur, atau konteks sosial lainnya yang lebih luas. Misalnya sistem kepercayaan bersama tentang umat manusia.
Definisi budaya
Budaya adalah sebuah konsep yang cukup sulit didefinisikan secara formal. Para peneliti seperti Margaret Mead, ruth benedict, gert hofstede dan yang lainnya telah menawarkan beberapa definisi yang menarik tentang budaya. Budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh sekelompok orang yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa tau beberapa sarana komunikasi lain.
Budaya tidak musti berakar dalam biologi. Dengan kata blain, budaya tidak sama dengan ras. Dua orang dari satu ras bisa punya kesamaan nilai dan perilaku-alias punya budaya yang sama-atau bisa sangat berbeda dalam kenampakan kultur mereka.
Prinsip-prinsip psikologi lintas budaya adalah melalui penggunaan istilah etik dan emik. Etik adalah mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten/tetap diberbagai budaya dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Emik, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda dengan budaya yang berbeda. Dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya.
Budaya diferensial lebih merupakan suatu produk identitas yang pembentukannya dipengaruhi oleh keseluruhan proses sosial. Oleh karena itu kebudayaan merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial sehingga tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan agen sosial yang yang terlibat. Sebagai budaya diferensial, suatu kebudayaan didapatkan kedalam serangkaian jaringan yang dinamis yang mana proses negoisasi terjadi secara intensif dalam proses kontruksinya.
Apakah nilai budaya itu?
Ada beberapa aspek yang yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia, menyangkut sedikitnya lima hal, yaitu : (1) soal makna hidup manusia; (2) soal makna pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; (3) persepsi manusia mengenai waktu; (4) soal hubungan manausia dengan manusia dengan alam sekitarnya; (5) soal hubungan manusia dengan sesama manusia.
Eksistensialisme
Dalam pemikiran eksistensial manusia dianggap bertanggung jawab atas proses kemenjadian dalam arti bahwa dengan memilih diantara berbagai alternative yang berbeda perilaku, dia menjadi dirinya sejati – diri yang benar-benar dirinya – dan hal ini merupakan latihan kebebasan yang membedakan manusia dari mahluk-mahluk yang lain.
Pembahasan
Menurut masyarakat Dieng, anak-anak berambut gimbal merupakan titipan dari Kyai Kolo Dete. Kyai Kolo Dete merupakan salah seorang punggawa pada masa Mataram Islam (sekitar abad 14). Bersama dengan Kyai Walid dan Kyai Karim, Kyai Kolo Dete ditugaskan oleh Kerajaan Mataram untuk mempersiapkan pemerintahan di daerah Wonosobo dan sekitarnya. Kyai Walid dan Kyai Karim bertugas di daerah Wonosobo, sementara Kyai Kolo Dete bertugas di Dataran Tinggi Dieng. Tiba di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Kolo Dete dan istrinya (Nini Roro Rence) mendapat wahyu dari Ratu Pantai Selatan. Pasangan ini ditugaskan membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Tolak ukur sejahteranya masyarakat Dieng akan ditandai dengan keberadaan anak-anak berambut gembel. Sejak itulah, muncul anak-anak berambut gembel di kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Munculnya rambut gembel pada seorang anak akan ditandai dengan panas tubuh yang tinggi selama beberapa hari. Suhu tubuh anak tersebut akan normal dengan sendirinya pada pagi hari, bersamaan dengan munculnya rambut gembel di kepala sang anak.  Biasanya, rambut gembel akan tumbuh ketika usia seorang anak belum mencapai 3 tahun. Rambut gembel ini akan tumbuh dan semakin lebat seiring waktu. Rambut gembel ini hanya akan dipotong dalam prosesi khusus (ruwatan). Pengadaan ruwatan harus mengikuti aturan khusus dan atas dasar kemauan dari si anak berambut gembel.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang anak berambut gembel tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. Mereka bermain bersama dengan anak-anak lain. Hanya saja, anak berambut gembel biasanya cenderung lebih aktif dibanding anak-anak lain. Pada saat-saat tertentu, emosi anak berambut gimbal pun menjadi tidak terkendali – bisa tanpa sebab yang jelas. Kecenderungan ini akan berkurang bahkan menghilang ketika rambut gembel anak tersebut sudah dipotong. Masyarakat Dieng menyebut anak-anak berambut gembel dengan sebutan ‘anak gembel’. Ini karena rambut gimbal sering dikaitkan dengan orang yang jarang mandi atau malas mengurus tubuh mereka. Padahal, anak-anak berambut gembel di Dieng merupakan anak-anak yang terawat.
Upacara ruwatan anak gembel adalah suatu kegiatan yang diyakini dan dilakukan oleh suku Dieng sejak dahulu. Anak bajang merupakan sebutan untuk anak yang “terpilih” untuk mempunyai rambut gembel. Rambut gembel pada anak bajang bukanlah rambut buatan, tetapi rambut tersebut akan muncul secara tiba- tiba pada anak bajang ketika memasuki umur kurang lebih 3 sampai 7 tahun. Biasanya ditandai dengan demam yang dirasakan oleh anak bajang tersebut. Setelah demam turun, baru kemudian muncullah rambut gembel pada anak tersebut.
            Awal mulanya, pada jaman dahulu Ruwatan Rambut Gembel dilakukan di rumah masing- masing dengan dipimpin oleh pemangku adat. Kemudian pada tahun 1970-an, prosesi ruwatan dilaksanakan dalam bentuk upacara adat. Anak bajang dikumpulkan menjadi satu dan menjalankan prosesi ruwatan secara bersamaan pada tanggal dan waktu yang sudah ditentukan. Biasanya bertempat di area Candi Arjuna dan dilaksanakan pada Bulan Agustus. Pada tahun 2007, Upacara Ruwatan Anak Gembel dikemas dalam sebuah event yang menggabungkan antara budaya lokal dan modern. Event dilaksanakan dalam 3 hari berturut- turut yang di dalamnya terdapat acara Jazz di Atas Awan, Kirab Budaya, Jalan Santai, Pesta lampion dan kembang api, serta acara puncak yaitu Upacara Ruwatan Anak Gembel itu sendiri. Serangkaian acara tersebut dinamakan Dieng Culture Festival. Hal tersebut merupakan hasil diskusi antara pemerintah dan warga suku Dieng guna memajukan pariwisata kawasan Dieng dan melestarikan budaya- budaya yang dimiliki daerah Dieng. Agar wistawan asing dapat mengunjungi dieng, jadi budaya ini adalah salah satu budaya yang digunakan sebagai rujukan kepada wistawan mancanegara.
            Anak bajang yang sudah dicukur rambut gembelnya, kesehatan fisik dan mentalnya tidak akan terganggu lagi. Justru setelah dipotong melalui proses upacara adat tersebut, anak bajang akan memiliki kelebihan dibanding dengan anak- anak normal lainnya. Kelebihan tersebut misalnya anak bajang tersebut menjadi anak yang pintar di sekolah, atau anak tersebut menjadi peka terhadap hal- hal gaib, ataupun kelebihan- kelebihan lainnya. Karena itu rambut gembel dianggap sebagai simbol anugerah dan musibah. Maknanya adalah, selalu ada anugerah dibalik musibah yang diturunkan oleh Tuhan. Perlu diketahui bahwa sebelum rambut gembel dipotong, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Yang pertama, rambut gembel pada anak bajang dapat dipotong apabila itu merupakan keinginan anak bajang itu sendiri. Jika anak itu tidak mau rambutnya dipotong, maka siapapun tidak boleh memotongnya. Kemudian syarat berikutnya adalah permintaan anak bajang harus dipenuhi oleh orangtuanya. Ada yang sekedar ingin karet gelang, boneka, atau buah- buahan. Tetapi tidak jarang ada yang menginginkan laptop, handphone, bahkan seekor sapi. Semua harus dipenuhi dahulu sebelum rambut gembel dipotong. Hal tersebut juga mengajarkan bahwa kita tidak bisa hanya menunggu anugerah. Tetapi kita perlu melakukan usaha dan pengorbanan untuk mendapatkan anugerah itu.
            Setelah rambut gembel dipotong, ada acara syukuran sebagai bentuk rasa syukur karena rambut telah dipotong. Seperti di masyarakat Jawa lain, syukuran ini juga menggunakan nasi tumpeng. Ada tiga jenis nasi tumpeng dan masing – masing mempunyai makna tersendiri. Yang pertama adalah tumpeng robyong. Tumpeng ini terdiri dari nasi, sayur mayur yang melambangkan kesuburan, dan berbagai jajanan pasar yang melambangkan sifat- sifat kehidupan. Tumpeng ini sebagai simbol harapan bahwa setelah dipotong, hidup anak bajang diharapkan dapat makmur, selamat, dan sejahtera. Yang kedua adalah tumpeng kalung. Tumpeng ini terdiri dari nasi tumpeng yang dihiasi kalung kelapa muda. Artinya adalah anak bajang setelah dipotong diharapkan mempunyai sifat seperti kalung. Yaitu anak bajang diharapkan dapat merangkul orang- orang disekitarnya dan meneruskan perjuangan hidup orangtua. Kemudian yang terakhir ada tumpeng panggang yang terdiri dari nasi tumpeng dan ayam panggang utuh yang dibersihkan luar dan dalamnya terlebih dahulu. Ada dua makna yang terkandung disini. Pertama, anak bajang diharapkan bersih luar dan dalam agar dapat menemui kebahagiaan sejati. Makna kedua diambil dari kata “pang”, yang dalam bahasa Indonesia berarti ranting pohon. Diharapkan setelah dipotong, anak bajang mempunyai sifat seperti ranting pohon yang bercabang. Yaitu anak bajang diharapkan dapat berbaur dengan berbagai kalangan. Selain itu anak bajang diharapkan dapat mencari ilmu ke arah mana saja.
            Setelah itu, prosesi akhir dari upacara tersebut adalah pelarungan rambut gembel. Rambut gembel dari anak bajang tersebut dimasukkan ke dalam kendi, kemudian dilarung (dihanyutkan) di Telaga Warna. Menurut mitos, bahwa rambut gembel adalah titipan dari Nyi Roro Kidul. Jadi setelah dipotong, rambut gembel dikembalikan dengan cara dilarungkan di Telaga Warna yang bermuara di laut selatan. Maknanya adalah bahwa keduniawian ini hanya sementara. Semua yang ada di dunia ini akan kembali kepada Sang Pencipta. Prosesi tersebut juga dapat berarti bahwa manusia hidup di dunia hanya dapat terus berusaha. Hasil dari usaha itu cukup diserahkan kepada Tuhan YME.
Selanjutnya mengenai keunikan dari upacara ini adalah adanya unsur agama Islam dan Hindu serta kepercayaan kejawen. Upacara dilakukan di Candi Arjuna yang notabene adalah bangunan peninggalan Agama Hindu. Kemudian doa- doa yang dibacakan di dalamnya adalah dengan cara Islam. Tetapi prosesinya adalah prosesi adat jawa dengan melantunkan tembang – tembang Jawa dan dekorasi yang didominasi oleh adat Jawa. Ternyata hal ini menunjukkan sifat dari Suku Dieng sendiri yaitu menghargai perbedaan. Umat Hindu sendiri tidak mempermasalahkan karena Suku Dieng ikut menjaga dan merawat candi- candi itu sendiri. Kemudian perpaduan antara Agama Islam dan Kepercayaan Kejawen yang seringkali bertentangan. Banyak sekali upacara – upacara kejawen di tempat lain yang dipandang Islam sebagai kegiatan yang musyrik. Tetapi di upacara ini unsur kejawen di dalamnya dinilai tidak menyalahi syariat Islam.
Unsur Jawa dalam upacara ini sangat kental, dan biasanya di dalam budaya Jawa terdapat banyak sekali filosofi - filosofi dari sebuah benda. Di dalam upacara itu sendiri ada benda - benda yang mempunyai makna. Selain nasi tumpeng yang sudah dijelaskan di sebelumnya, juga terdapat janur kuning di tempat pemotongan rambut gembel. Janur kuning berasal dari kata Sejane ning Nur (Harapan pada cahaya Tuhan) dan Kalbu kang Wening (Hati yang bersih). Janur Kuning berarti niat dari hati yang bersih karena berharap ridho dari Tuhan YME. Kemudian selama proses pencukuran, ada seorang sinden yang melantunkan tembang (lagu adat Jawa) yang berjudul Dandhang Gulo. Judul tersebut berasal dari kata Gegadhangan yang berarti cita- cita dan Gulo yang berasa manis. Jadi Dandhang Gulo dapat berarti harapan yang indah. Arti lain dari kata Dandhang adalah burung gagak sebagai simbol dari perasaan duka. Jadi Dandhang Gulo juga berarti kebahagiaan yang dicapai setelah mengalami duka. Tembang ini sangat cocok dinyanyikan di upacara tersebut karena memang maknanya sangat tepat untuk menggambarkan maksud dan harapan dari upacara tersebut.

Kesimpulan.
Anak-anak berambut gembel merupakan titipan dari Kyai Kolo Dete. Kyai Kolo Dete merupakan salah seorang punggawa pada masa Mataram Islam (sekitar abad 14). Kyai Kolo Dete ditugaskan oleh Kerajaan Mataram untuk mempersiapkan pemerintahan di daerah Wonosobo dan sekitarnya. Kyai Karim bertugas di daerah Wonosobo. Tiba di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Kolo Dete dan istrinya (Nini Roro Rence) mendapat wahyu dari Ratu Pantai Selatan. Pasangan ini ditugaskan membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Tolak ukur sejahteranya masyarakat Dieng akan ditandai dengan keberadaan anak-anak berambut gimbal. Sejak itulah, muncul anak-anak berambut gimbal di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Rambut gembel ini tumbuh ketika anak masih berumur 2 tahunan rambut yang tumbuh akan diawalli dengan demam tinggi dan flu, anak rambut gembel memiliki kelebihan dibandingkan dengan anak yang normal lainnya, dan anak rambut gembel, rambut gembel akan hilang apabila dipotong dengan melalui proses ruwatan. Masyarakat Dieng menyebut anak-anak rambut gimbal dengan sebutan “anak gembel”. karena rambut gimbal sering dikaitkan dengan orang yang jarang mandi atau malas mengurus tubuh mereka. Padahal, anak-anak berambut gimbal di Dieng merupakan anak-anak yang terawat. 

Lampiran
Pemangku Adat (mbah Sumar)

Komentar

Postingan Populer